15 Juli 2008

Macet lagi ...

Dua hari ini aku bawa motor sendiri ke kantor. Sebenarnya bawa motor sendiri adalah hal yang biasa buatku, sejak SMA aku sudah biasa naik motor sendiri. Tapi kali ini perjuangannya terasa sekali. Apalagi kalau bukan macet berkilo-kilometer. Selama macet itu awalnya aku mengumpat-umpat, tapi setelah lama terjabak macet dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi, kepalaku penuh pertanyaan "kenapa bisa begini sih?" "sampai kapan mau begini?" "gimana caranya ya supaya nggak macet lagi?"

Macet kemarin betul-betul bikin pusing, kira-kira 3/4 perjalanan ke kantor yang berjarak 15-20an kilo itu macet total. Kami (aku dan suami) yang naik motor saja sempat berhenti dan mematikan motor. Penumpang angkot berusaha bertahan di angkot sampai keringat menetes-netes. Yang sudah tidak tahan pengapnya udara dalam angkot pun memutuskan untuk turun dan berjalan kaki, yang sebenarnya juga sulit karena hampir tidak ada trotoar disepanjang jalan tersebut. Walhasil kami telat sampai kantor. Telat banget. Padahal percaya atau tidak, hari itu kami berangkat 1 jam lebih awal dari biasa untuk menghindari kemacetan yang mungkin terjadi akibat hari pertama anak-anak masuk sekolah.

Hari ini sebenarnya nggak terlalu panjang macetnya, tapi cukup bikin pusing karena sisi-sisi jalan juga sedang ada pembongkaran untuk dibuat gorong-gorong (lagi). Just another PU project. There's always pekerjaan jalan in Jakarta. Bulan ini pembuatan gorong-gorong, bulan lalu pemasangan kabel Indosat, bulan sebelumnya galian PLN, sebelumnya lagi pengaspalan. Nanti bisa ditebak setelah bulan ini pasti ada perbaikan jalan apalagi.

Sepertinya masalah kemacetan di Jakarta sudah seperti lingkaran setan yang mustahil diputus. Selain karena kedisiplinan pengguna jalan yang patut dipertanyakan (dengan tanda tanya besar tentunya), masalah lain adalah bertambahnya jumlah kendaraan pribadi baik motor maupun mobil, dan banyaknya jalan rusak serta proyek-proyek yang memakan badan jalan.

Kalau mau ditulis mungkin bakal panjang sekali komplain tentang kedisiplinan di jalan. Mulai dari angkot yang ngetem semena-mena di tengah jalan, potong jalur kiri kanan seenak udel sendiri, motor yang semakin banyak dan mencari celah sekecil apapun untuk lewat termasuk trotoar yang seharusnya untuk pejalan kaki, banyaknya mobil pribadi yang ternyata hanya berisi 1 - 2 orang saja, polisi yang hanya bengong melihat kemacetan atau malah memanfaatkan kemacetan untuk cari-cari kesalahan pengendara motor yang terjebak macet, sampai pak ogah yang ikut repot mengatur laju arus kendaraan. Semua itu ada di Jakarta.

Kendaraan umum yang seyogyanya merupakan solusi kemacetan ternyata bukan merupakan pilihan bagi masyarakat kita. Pelayanan dan fasilitas yang buruk masih merupakan kendala. Belum lagi saat masyarakat dipusingkan dengan naiknya tarif kendaraan umum akibat kenaikan harga minyak dunia. Untuk sebagian warga, kalau dihitung-hitung naik motor jauh lebih murah daripada biaya naik angkot. Selain motor bisa langsung menuju ke tempat tujuan (tidak semua jalur angkot melayani semua wilayah kan?), motor lebih praktis dan lincah bergerak jika terjebak macet. Selain itu untuk mendapatkan kredit motor saat ini semakin dipermudah, bahkan ada yang tanpa uang muka. Siapa yang menolak?

Apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini masih saling tumpang tindih jawabannya. Sepertinya untuk sementara kita masih harus bersabar menghadapi macet setiap hari.

Tidak ada komentar: